Kurikulum Coding dan Revolusi Industri 4.0

Kurikulum Coding dan Revolusi Industri 4.0
Ilustrasi By 200degrees on Pixabay

Ada wacana menarik bahwa coding akan dimasukkan dalam kurikulum sekolah dasar. Wacana ini tentu bukan tanpa alasan, revolusi industri 4.0 yang kian pesat, ditambah lagi negara kita masih kekurangan tenaga programmer lokal, menjadi pertimbangan tersendiri. Oleh karena itu, ada usulan untuk memasukkan coding ke dalam kurikulum sekolah dasar (SD).

Sedikitnya sekolah yang mengadakan jurusan coding pun, menjadi penyebab sepinya peminat akan pelajaran ini. Padahal, kita sudah memasuki era digital dan revolusi industri 4.0, di mana kebutuhan akan programmer terus meningkat. Namun, jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) kita untuk memenuhi kebutuhan tersebut masih terbatas.

Usulan untuk memasukan coding dalam kurikulum SD, memang masih menjadi pertimbangan. Tapi, agaknya tak ada salahnya bila kita menyambut hangat usulan ini. Pasalnya, zaman sudah berubah. Teknologi pun semakin canggih. Saat ini sudah banyak sektor yang memanfaatan kecanggihan teknologi alias berbasis TI. Misalnya saja, pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang tidak lagi menggunakan kertas melainkan sudah beralih ke komputer (UNBK). Di bidang jasa transportasi pun, bangsa kita sudah mulai beralih dari jasa transportasi konvensional ke jasa transportasi digital karena di anggap lebih efisien dan menghemat waktu.

Itu artinya, pelan tapi pasti, kita akan masuk ke ranah digitalisasi. Di mana semua sektor ditopang oleh kecanggihan teknologi alias berbasis TI. Coding sebagai bahasa pemrogaman komputer memiliki peran vital dalam tumbuh kembangnya dunia teknologi. Startup seperti Bukalapak, Gojek, Tokopedia, dan lainnya sebagainya dibangun dengan coding. Begitu juga dengan media sosial yang sering kita gunakan seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Whatsapp juga dibangun dengan dasar coding. Bahkan, smatphone yang sering kita genggam pun tidak lepas dari coding.

Artinya, secara sadar maupun tidak, kita selalu bersinggungan dengan bahasa pemrogaman alias coding. Apalagi saat ini startup dan e-commerce sedang tumbuh pesat, tentu membutuhkan banyak programmer. Untuk itu, memang sudah saatnya kita belajar tentang coding. Dengan memasukannya ke dalam kurikulum SD, berarti bangsa kita telah menyiapkan bibit-bibit unggul untuk menjadi seorang programmer yang andal. Bukan tidak mungkin, kedepannya akan banyak tercipta berbagai aplikasi maupun media sosial buatan anak bangsa yang digunakan di seluruh dunia layaknya Facebook, Instagram, dan Whatsapp.

Milenial dan Revolusi Industri 4.0

Yoris Sebastian, Dilla Amran, dan Youthlab (2016: 12-14) membagi milenial menjadi tiga kelompok.

Pertama, The Student Millennials. Kelompok milenial yang lahir antara tahun 1993-2000. Tahun 2015, mereka rata-rata berusia 15-22 tahun. Smartphone mulai marak di Indonesia sejak mereka 14 tahun ke bawah, sehingga ketika mulai dewasa smartphone dan media sosial sudah mulai digunakan sehari-hari.

Kedua, The Working Millennials. Kelompok yang lahir pada 1987-1993. Pada 2015, kelompok ini kebanyakan sudah berusia 22-28 tahun. Milenial tertua dari kelompok ini mengalami boom social media, saat mulai masuk SMA. Meski, sebagian masih kerja kantoran, aspirasi untuk menjadi pengusaha sudah sangat besar.

Ke tiga, The Family Millennials. Yaitu mereka yang sudah mulai berkeluarga. Rata-rata berusia 28-35 pada tahun 2015. Mereka kelompok era reformasi karena pada 1998 baru masuk SMA dan juga mengalami masa transisi dari analog ke digital.

Dari pembagian kelompok di atas, bisa disimpulkan bahwa milenial sudah akrab sekali dengan teknologi. Selama ini, kita hanya menjadi konsumen akan produk-produk teknologi buatan luar negeri. Sudah saatnya bangsa ini mulai memproduksi teknologi buatan sendiri. Ditambah lagi, pada 2020 kita sudah bisa menikmati bonus demografi. Di mana usia produktif lebih besar dibandingkan usia tidak produktif. Tentu sangat disayangkan, bila kita tidak bisa memaksimalkan bonus demografi yang ada.

Belum lagi tantangan revolusi industri 4.0 yang tak terbendung, mau tak mau membuat bangsa ini harus berbenah bila tak ingin tertinggal. Maraknya startup dan e-commerce, menjadikan kebutuhan akan programmer kian besar. Pun bisa menjadi penggerak utama ekonomi digital bangsa kita. Dengan memasukan coding dalam kurikulum sekolah, kita telah menyiapkan bibit-bibit unggul untuk menjadi programmer andal di kemudian hari. Kedepannya, diharapkan banyak startup dan aplikasi buatan dalam negeri mampu bersaing di dunia internasional.

Daftar Pustaka

Sebastian, Yoris, Dilla Amran dan Youth Lab. 2016. Generasi Langgas. Jakarta:GagasMedia.
Toni Al-Munawwar
Toni Al-Munawwar Toni Al-Munawwar adalah seorang blogger dan penulis buku. Ia mulai menekuni dunia menulis dari blog pribadinya. Beberapa tulisannya pernah dimuat media cetak dan elektronik.

6 komentar untuk "Kurikulum Coding dan Revolusi Industri 4.0"

Comment Author Avatar
duh jangan deh kalau masuk kurikulum SD saya yang pusing kalo ditanyain sama anak2
Comment Author Avatar
Mau tidak mau memang harus masuk kurikulum Bu, sebab kedepannya bisa jadi dibutuhkan banyak tenaga Programmer pun akan lebih banyak pekerjaan yang berbasis tekonologi maupun berkaitan dengan dunia digital. Di beberapa negara maju, coding memang sudah masuk kurikulum SD Bu.
Comment Author Avatar
kalau sd masih terllau kecil ya, mungkin smp deh
Comment Author Avatar
Justru sejak SD, anak-anak jadi bisa belajar coding secara basic. Semacam pengenalan tentang coding dulu Bu. Sehingga tidak akan kaget jika sudah masuk tahap lanjutan.

Aturan Berkomentar : Harap dibaca dan perhatikan setiap aturan dengan saksama!

1.Berkomentar sesuai topik.
2. Dilarang Spam.
3. Dilarang meninggalkan link Blog/Web
4. Jangan basa-basi seperti mantab Gan, nice info, maupun sejenisnya.
5. Usahakan berkomentar yang relevan dengan topik yang di bahas.
6. Komentar yang menyisipkan link web atau blog, termasuk kategori spam dan tidak akan di approved!