Ketika Akal Imitasi Merenggut Kemampuan Kognitif Kita
![]() |
Pexels.com/Andrea Piacquadio |
Kalau kamu sering menggunakan akal imitasi (AI) untuk berbagai aktivitas, kamu perlu waspada dan hati-hati. Sebab, ada bahaya terselubung yang mengintai. Izinkan saya untuk menguliknya lebih dalam.
Sejak akal imitasi seperti ChatGPT menjadi buah bibir di dunia, pelan tapi pasti aktivitas kita mulai bergeser. Bayangkan, kalau dulu, orang mau mencari informasi atau sesuatu, maka mereka akan membuka Google dan menelusuri situs satu per satu. Tapi, sejak ada ChatGPT, aktivitas macam ini sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman.
Sekarang, cukup tanya ChatGPT, maka kita akan langsung diberikan jawaban instan. Alhasil, dikit-dikit kita menjadi ketergantungan sama akal imitasi satu ini. Nah, di sinilah letak bahayanya. Kita jadi malas berpikir dan cenderung mengharapkan jawaban yang instan-instan saja. Imbasnya otak kita menjadi pasif dan tidak mampu melakukan penalaran kritis.
Menurut Dolan (2025), sebuah artikel di PsyPost merangkum studi baru di jurnal Societies yang menunjukkan bahwa ketergantungan yang sering pada akal imitasi dapat berdampak negatif pada keterampilan berpikir kritis.
Selain itu, menurut Jose dkk. (2025, hlm. 1), meskipun penggunaan akal imitasi (AI) memberi kemudahan, hal ini dapat mengurangi kesempatan kita untuk mengingat secara aktif dan memecahkan masalah—dua hal yang amat penting menurut saya dalam perkembangan kognitif kita.
Fenomena ini disebut sebagai cognitive offloading. Cognitive offloading seperti yang dijelaskan oleh Risko dan Gilbert (2016, dikutip dalam Gerlich, 2025), melibatkan penggunaan alat eksternal untuk mengurangi beban kognitif pada memori kerja individu.
Bahasa sederhananya gini agar lebih mudah dipahami, kita menyerahkan tugas-tugas yang melibatkan peran dan kinerja otak kepada alat eksternal dalam hal ini akal imitasi. Contoh sederhananya misalnya begini, 5 x 5 itu kan hasilnya 25. Nah, kita minta ke ChatGPT untuk memberikan jawaban atas perkalian 5 x 5 tadi.
Di sini otak kita jadi nggak perlu repot-repot mikir. Kira-kira begitu. Dampak buruknya adalah otak kita menjadi pasif dan tidak lagi mampu untuk berpikir kritis. Saya jadi membayangkan peran orangtua mengajari anaknya dalam hal belajar akan digantikan oleh akal imitrasi.
Contoh nyatanya begini, ketika kita kecil dan masih Sekolah Dasar (SD), orangtua begitu tekun dan telaten mengajari kita. Namun, ketika masuk SMP, orangtua mulai kewalahan karena pelajaran dinilai terlalu sulit. Sehingga mereka tidak mampu mengajari kita lagi dan kita justru disuruh belajar mandiri dengan teman.
Nah, di era akal imitasi, ketika orangtua sudah tidak mampu lagi mengajari anaknya pelajaran sekolah, maka tugas dan tanggungjawab ini akan dialihkan kepada akal imitasi seperti ChatGPT. Artinya, secara sadar atau tidak, para orangtua ini “mendidik” anaknya untuk malas berpikir dan cenderuug ingin jawaban instan.
Ini mirip seperti ketika kita menyontek saat ujian sekolah sedang berlangsung. Otak kita sudah terlalu panas dan pusing untuk memikirkan jawaban dari soal-soal ujian itu. Kenapa kita selalu pusing dan tidak bisa berpikir saat ujian?
Jawabannya klasik sekali. Karena kita tidak belajar. Jika ditarik lebih jauh, otak kita sebenarnya isinya itu kosong, tidak ada satu memori tentang pelajaran yang tersimpan di dalamnya. Alhasil, ketika ujian kita jadi kebingungan dan celingak-celinguk menunggu jawaban dari teman.
Begitu pun dengan akal imitasi, jika tidak bijak dalam pemakaiannya, ini bisa menggeser cara kita berpikir. Dengan kata lain, kita memindahkan cara otak kita berpikir kepada mesin dan membuat penalaran dan analisis kita makin melemah.
Ketika kita sudah tidak mampu lagi melakukan analisis mendalam, maka jawaban apa pun yang keluar dari akal imitasi, akan selalu kita anggap benar tanpa adanya verifikasi dan validasi lebih lanjut. Imbasnya dalam kehidupan sehari-hari kita jadi sulit memecahkan masalah serta mengambil keputusan secara mandiri.
Untuk itu, penting bagi kita untuk bijak dalam menggunakan akal imitasi, jadikan ia sebagai rekan—alih-alih mendelegasikan semua peran otak kepadanya. Dengan begitu, otak kita tetap aktif bekerja dan kita makin kritis.
Daftar Pustaka
Jose, B., Cherian, J., Verghis, A. M., Varghise, S. M., Mumthas, S., & Joseph, S. (2025). The cognitive paradox of AI in education: between enhancement and erosion. Frontiers in Psychology, 16, 1550621. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2025.1550621
Dolan, E. W. (2025, March 21). AI tools may weaken critical thinking skills by encouraging cognitive offloading, study suggests. PsyPost. https://www.psypost.org/ai-tools-may-weaken-critical-thinking-skills-by-encouraging-cognitive-offloading-study-suggests/
Gerlich, M. (2025). AI Tools in Society: Impacts on Cognitive Offloading and the Future of Critical Thinking. Societies, 15(1), 6. https://doi.org/10.3390/soc15010006
Posting Komentar untuk "Ketika Akal Imitasi Merenggut Kemampuan Kognitif Kita"
Posting Komentar
Aturan Berkomentar : Harap dibaca dan perhatikan setiap aturan dengan saksama!
1.Berkomentar sesuai topik.
2. Dilarang Spam.
3. Dilarang meninggalkan link Blog/Web
4. Jangan basa-basi seperti mantab Gan, nice info, maupun sejenisnya.
5. Usahakan berkomentar yang relevan dengan topik yang di bahas.
6. Komentar yang menyisipkan link web atau blog, termasuk kategori spam dan tidak akan di approved!