Jalani Hidupnya Nikmati Ujiannya Syukuri Nikmatnya

Jalani Hidupnya Nikmati Ujiannya Syukuri Nikmatnya merupakan resensi atas buku Jalani Nikmati Syukuri karya Dwi Suwiknyo terbitan Penerbit Noktah.
Jalani Hidupnya Nikmati Ujiannya Syukuri Nikmatnya





Judul Buku : Jalani Nikmati Syukuri

Penulis : Dwi Suwiknyo

Penerbit : Noktah

Terbit : Januari 2018

Tebal : 260 hal

Isbn : 978-602-50754-5-2

Baru membaca bagian prolog saja, saya sudah disentak. Sebab, kisah yang diceritakan begitu membuat saya merenung cukup dalam. Kenapa? Karena apa yang digambarkan dalam cerita tersebut hampir mirip dengan watak saya. Bila menginginkan sesuatu, pasti mengejarnya mati-matian. Persis seperti yang dilakukan tokoh dalam prolog buku ini. Jujur, kalau belum mendapatkan apa yang di mau, belum mau berhenti. Namun apa yang terjadi? Saya pun akhirnya jatuh sakit beberapa waktu lalu. Mungkin sakit ini tidak separah dengan yang dialami sang tokoh, tetapi di sini saya jadi belajar banyak hal. Dari kisah dalam prolog ini, saya bisa memetik banyak pelajaran yang berharga.

“Karena dedikasi pada pekerjaan tidak harus ditandai dengan cara membunuh diri sendiri secara perlahan.” (hal 7)
Saya merenungi kalimat ini dalam-dalam. Di dalamnya, saya menemukan pesan implisit yang ingin disampaikan oleh Mas Dwi selaku penulis buku ini. Bahwa dalam hidup kita tidak perlu terlalu menggebu-gebu. Biasa saja. Lantaran, terlalu menggebu-gebu jadi tidak memperhatikan kesehatan sehingga jatuh sakit.

“Bisa jadi karena terlalu berorientasi pada goal (hasil), maka kita pun sering melupakan hal yang penting, yakni proses menuju goal itu. Lebih parahnya lagi, kita lupa bahagia. Sebab, kita kurang menikmati apa yang kita kerjakan atau memaksakan diri dan menguras energi untuk melakukan aktivitas itu.” (hal 9)
Kalimat ini menekankan bahwa bila kita terlalu ngotot mendapatkan apa yang kita inginkan, kita akan sulit untuk menikmati setiap prosesnya. Sebab, kita akan berusaha mati-matian agar bisa mendapatkan sesuatu itu. Bukan, begitu? Jika sudah begini, benar apa yang dikatakan Mas Dwi dalam buku ini, kita lupa bahagia. Sebab, yang ada di kepala saat ini, hanyalah bagaimana caranya agar apa yang kita kejar bisa segera diraih. Dulu, saya juga seperti itu, tetapi akhirnya saya sadar, bahwa terlalu menggebu-gebu untuk mendapatkan sesuatu itu tidak bagus. Saya jadi sering sakit-sakitan. Akhirnya, saya memutuskan untuk bersikap biasa saja. Kondisi kesehatan saya pun jauh lebih baik. Karena tidak terlalu kelelahan.

Jangan Lupa Bahagia

“Sesungguhnya kesedihan itu sementara. Karenanya jangan terlalu lama tenggelam dan larut di dalamnya. Apa-apa yang kita sedihkan saat ini, tidak akan kita sedihkan lagi esok hari. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Bila Allah sudah berkehendak, maka Dia akan mudah sekali mengubah wajah sedih menjadi wajah yang berseri-seri (bahagia).” (hal 14)
Pada bagian pertama ini, cukup menarik buat saya. Sebab, memang benar bahwa rasa sedih itu bisa hilang seketika. Di sini, saya bisa menyimpulkan kalau kesedihan yang kita rasakan tidaklah lama. Lagi-lagi saya dibuat tersentak, bahwa Allah itu memang sangat mampu menghibur hamba-Nya yang lagi sedih. Namun, sering kali yang terjadi adalah pada kondisi hati seperti itu, kita tidak ingat sama Allah bahkan terkadang lupa. Kalimat yang dipaparkan oleh Dwi Suwiknyo di atas, mengingatkan saya pada peristiwa anak kecil yang sedang menangis, karena tidak bisa memperoleh apa yang dia mau. Tetapi, kesedihan itu bisa tiba-tiba hilang saat anak kecil itu sudah kembali bermain bersama teman-temanya.

“Tetaplah bahagia. Karena semakin besar rasa khawatir di dalam hati , semakin gelisah, semakin besar rasa takut atas segala urusan dunia, maka semakin tinggi pula tingkat kepasrahan kita kepada Allah. Rasa butuh kepada Allah pun semakin besar.” (hal 15)

Kesimpulan: Jangan Lupa Bahagia

Pada bagian awal ini, penulis menekankan kepada pembaca untuk tidak terlalu berlebihan dalam rasa sedih. Seperti yang sudah di ungkapan Dwi Suwiknyo, “Apa-apa yang kita sedihkan saat ini, tidak akan kita sedihkan lagi esok hari” (hal 14). Selain itu, di bagian awal ini kita juga diingatkan untuk kembali kepada Allah. Sebab, hanya Dia yang mampu mengurus segala urusan kita serta menolong kita saat sedang kesulitan.

Yang Penting Yakin

“Jika kita yakin Allah mengurus semua urusan kita, tidak akan ada rasa khawatir apalagi menggugat kehendak-Nya.” (hal 18)
Di bagian ini, saya belajar tentang keyakinan kepada Allah. Ya, kalau kita yakin, Allah akan selalu menolong kita. Bahkan, pertolongan-Nya terkadang datang secara tiba-tiba. Seperti yang dialami tokoh dalam cerita ini. Janji Allah itu pasti. Tugas kita hanya yakin. Percayalah, bahwa Dia akan selalu memberikan yang terbaik untuk kita.

“Tentang janji Allah tugas kita hanya satu, yakni amanna (aku beriman), meyakini bahwa janji Allah itu pasti benar adanya. Tentang bagaimana janji itu datang, itu bukan urusan kita. Itu yang membuat kita terkejut kelak saat janji-Nya terpenuhi.” (hal 22-23)

Kesimpulan: Yang Penting Yakin

Di bagian ini saya belajar tentang keyakinan kepada Allah juga tentang janji-Nya. Betapa janji Allah itu memang tidak pernah meleset. Ada satu hal yang saya garis bawahi di bagian ini yaitu, “Allah berjanji akan memelihara kita. Allah berjanji akan mencukupi segala kebutuhan kita. Allah berjanji akan memberikan rezeki-Nya kepada kita. Allah berjanji memberikan ketenteraman di dalam hati kita. Allah berjanji akan memberikan kemudahan-kemudahan dan melapangkan hati kita. Allah berjanji akan memberikan pahala kepada kita. Allah berjanji akan memberikan kehidupan di akhirat yang kekal abadi.” (hal 22).

Kontes Kesengsaraan

“Di tengah kelaparan, kami bahagia
Di tengah himpitan masalah, kami bahagia
Kami rela kami lapar, asal Allah tidak marah
Kami rela kami miskin, asal Allah tidak murka” (hal 68)
Pada bagian ini, sungguh saya sangat penasaran sekaligus terusik. Apa yang di maksud dengan Kontes Kesengsaraan? Setelah saya baca, ternyata bagian ini menawarkan kepada kita untuk selalu menerima apapun kondisi hidup kita. Termasuk saat sengsara. Sebab, ini hanyalah sebuah ujian. Menariknya, kesengsaraan itu jangan dibikin sengsara, tetapi di bawa enjoy saja. Seperti penuturan Dwi Suwiknyo, “Yang sengsara janganlah dibikin tambah ngenes. Coba tersenyum saja, atau bahkan kalau perlu tertawa. Boleh sedih, tapi sebentar saja. Selebihnya, sambut kesengsaran dengan tangan terbuka. Peluk erat rasa pahit itu sampai rasanya benar-benar pudar dan berubah menjadi manis.” (hal 70).

“Yang kita perlukan hanyalah berlatih. Latihan untuk memandang segala sesuatu dengan sudut pandang keindahan.” (hal 71)
Ini menarik, buku ini mengajarkan untuk memandang segalanya dengan indah. Ya, kalau di pikir-pikir memang ada benarnya juga. Sebab, segala sesuatu yang tidak enak kalau di pandang dengan buruk tetap tidak enak (buruk). Bukan, begitu? Tetapi, kalau kita bisa memandang hal yang tidak menyenangkan dengan pandangan gembira, pasti rasanya akan berdeda. Rasa tidak nyaman itu perlahan-lahan akan hilang.

“Anggap kontes kesengsaran dalam hidup ini ialah kontes keimanan kita. Semakin sengsara, semakin terpancar keimanannya. Kepahitan hidup pun menjadi pupuk keimanan. Jadi subur imannya. Jadilah kuat. Sampai suatu saat kita bisa mengatakan dengan santai, “Ah, sengsara seperti ini sudah biasa.”” (hal 72)

Kesimpulan: Kontes Kesengsaraan

Bagian ini begitu menggelitik dan menampar bagi saya. Sebab, di dalamnya ditawarkan untuk melihat sesuatu yang tidak enak menjadi sesuatu yang sedap di pandang. Ini tidak biasa. Kita diajarkan untuk merasa senang saat mendapat sesuatu yang buruk. Ini sungguh luar biasa. Kalau mendapat hal yang tidak membuat nyaman terus kita sedih itu biasa. Tapi ini kita disuruh untuk merasa bahagia saat kondisi kita tidak nyaman. Bukankah, ini luar biasa?

Jalani Hidupnya Nikmati Ujiannya Syukuri Nikmatnya 

Kaya Belum Tentu Enak

“Jangan sampai semakin kaya, justru hidup kita semakin pusing sebab takut kehilangan. Kalau begini, maka sama saja miskin dan kaya sama-sama bikin gelisah. Orang miskin gelisah, sebab hartanya tidak bertambah. Sedangkan orang kaya pun gelisah, sebab takut hartanya berkurang.” (hal 80)
Ini menarik, kita sering berpikir bahwa orang kaya hidupnya selalu enak. Padahal, belum tentu. Boleh jadi hidupnya jauh lebih nggak enak daripada kita. Kok bisa? Ya bisa. Misalnya punya mobil bagus tapi dengan cara kredit, tentu ini akan membuat hidup jadi gelisah. Sebab, angsuran bayar mobil itu lebih mahal daripada anggsuran bayar motor. Bukan, begitu? Kalau kaya tapi banyak utang, hidup juga nggak bakalan tenang. Karena selalu ditagih sana-sini untuk melunasi utang. Menyedihkan, bukan?

“Bahwa harta kita itu ialah apa yang telah kita makan dan apa yang sudah kita sedekahkan. Yang pertama itu benar-benar harta yang kita ambil manfaatnya. Sedangkan yang kedua itu ialah harta yang kita tabung dan akan kita nikmati di kehidupan akhirat kelak. Jadi, konsep berharta ini tidak sekadar kaya secara pribadi dan keluarga, tapi juga sangat membumi pemanfaatannya. Sebab, harta yang disedekahkan di dunia pun bisa dimanfaatkan oleh orang lain.” (hal 80)

Kesimpulan: Kaya Belum Tentu Enak

Di sini, kita belajar, bahwa banyaknya harta tidak menjamin kebahagiaan. Pun, di sini juga, Dwi Suwiknyo, menjelaskan bahwa harta kita sesungguhnya adalah apa yang sudah kita makan dan apa yang sudah kita sedekahkan. Bagian ini, secara tidak langsung mengajak kita, untuk gemar berderma.

Hidup Modal Dendam

“Tidak sedikit orang berjuang lantaran menyimpan dendam. Dendam karena pernah diremehkan orang lain dan ingin sekali membuktikan bahwa ia tak layak diremehkan.” (hal 84)
Tentu kita pernah diremehkan oleh orang lain. Iya, kan? Rasanya pasti sakit. Saat itu terjadi, kita ingin membalas dengan membuktikan bahwa apa yang dikatakan orang-orang itu tidak benar. Jadinya dendam. Hidup dengan dendam itu nggak enak, sebab kita sendiri yang merasakan sakit bukan orang lain. Dwi Suwiknyo mengajak kita untuk mengubah rasa dendam menjadi hal yang lebih positif.

“Rasa kecewa (marah) diubah menjadi energi positif untuk tampil menjadi pribadi yang lebih berprestasi. Kalau dihina karena miskin misalnya, jadikan hinaan itu sebagai motivasi bahwa siapa pun bisa memiliki masa depan yang cerah.” (hal 87)
Selain itu, di bagian ini juga kita diajarkan untuk memaafkan kesalahan orang lain. Rasanya memang sulit. Tetapi kalau kita mampu, kita telah menjadi orang yang hebat seperti kata Rasulullah Saw. Pun Allah juga menyukai orang-orang yang pemaaf. Seperti dalam surat Ali Imran ayat 134: “Dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan kesalahan orang lain, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (hal 89)

“Berusaha keraslah menutup aib orang lain, sebagaimana Allah telah menutup aib-aib kita.
Berusaha keraslah untuk memaafkan kesalahan orang lain, sebagaimana Allah telah mengampuni dosa-dosa kita.
Kemuliaan kita bukan ditentukan bagaimana cara orang lain bersikap kepada kita, tetapi dari bagaimana cara kita bersikap baik kepada mereka.” (hal 90)

Kesimpulan: Hidup Modal Dendam

Di sini, saya jadi belajar bagaimana cara mengubah rasa sakit menjadi energi yang jauh baik (positif). Pun belajar memaafkan kesalahan orang lain. Karena, setiap orang pasti punya salah, jadi alangkah baiknya kita belajar memaafkan daripada harus hidup mendendam.

Kesimpulan Buku Jalani, Nikmati, Syukuri

Ketika membaca judul buku ini, saya sudah menemukan benang merahnya. Namun, untuk memahami lebih detail saya putuskan untuk membaca buku ini dari awal hingga akhir baru membuat kesimpulan. Setelah membaca, memang benang merahnya ada di tiga kata; Jalani, Nikmati, Syukuri. Ke tiga kata ini mewakili sebuah kehidupan. Dalam hidup ini, kita memang harus terus menjalaninya, tidak bisa tidak, sampai waktunya pun habis. Tidak sekadar menjalani tetapi juga menikmati. Agar hidup terasa nikmat. Selain itu, di dalam kehidupan setiap orang pasti ada ujian. Bentuknya pun macam-macam. Ada yang kecil, sedang, juga besar. Di sini, Dwi Suwiknyo mencoba mengajak kita untuk menikmati setiap ujian itu. Untuk apa? Agar kita tidak merasa telalu berat dalam menjalaninya. Dengan menikmati ujian, berarti kita merasa senang dengan adanya ujian itu sehingga hati tidak resah apalagi gelisah. Sebaliknya, dengan rasa gembira itu hati kita jadi lapang dan bisa menerima. Mungkin ini yang ingin disampaikan oleh penulis. Selain ujian, tentu ada nikmat yang diberikan Allah untuk kita. Bukan, begitu? Adanya nikmat ini, menuntut kita untuk bersyukur. Sejak awal penulis secara tidak langsung menggiring kita untuk beryukur pada apa yang sudah ada, meskipun itu sederhana. Artinya, bersyukur itu bukan soal banyak atau sedikit, besar atau kecilnya suatu nikmat, tetapi lebih kepada bagaimana cara kita untuk merealisasikan setiap pemberian-Nya dengan rasa bersyukur tak terhingga. 

“Lihatlah orang yang berada di bawah kalian dan jangan melihat orang yang berada di atas kalian, karena hal itu lebih pantas agar kalian tidak menganggap rendah nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kalian.” (Muttafaqun ‘Alaih) (hal 256)
Bahkan, buku ini ditutup dengan sebuah hadits yang intinya mengajarkan untuk selalu memandang ke bawah. Maksudnya, mensyukuri apa yang sudah kita miliki bukan malah iri pada milik orang lain. Meskipun punya kita sederhana, tetap harus disyukuri. Bila tidak, Allah juga tidak mau menambah nikmatnya lagi. Bukan, begitu? Bila selalu memandang ke atas, yang ada kita selalu iri kepada orang lain. Maka, dalam hadits dikatakan pandanglah ke bawah, itu jauh lebih baik. Kenapa? Agar kita tidak melihat nikmat orang lain yang nilainya lebih besar, sehingga hati ini jauh dari sifat iri apalagi dengki. Buku ini, sangat memotivasi buat saya. Masalah-masalah yang dipaparkan pun begitu lekat dengan kehidupan sehari-hari serta solusi yang diberikan pun cukup simple tapi efektif. Buku ini mampu, membangkitkan semangat yang sudah redup, agar kembali menyala. Tidak hanya itu saja, buku ini juga membuat kita merenungi hidup ini, sudahkah kita bahagia?
Toni Al-Munawwar
Toni Al-Munawwar Toni Al-Munawwar adalah seorang blogger dan penulis buku. Ia mulai menekuni dunia menulis dari blog pribadinya. Beberapa tulisannya pernah dimuat media cetak dan elektronik.

Posting Komentar untuk "Jalani Hidupnya Nikmati Ujiannya Syukuri Nikmatnya"