Kehilangan dan Cinta

Kehilangan dan Cinta merupakan resensi atas novel Hujan karya Tere Liye terbitan Gramedia Pustaka Utama di muat oleh Kabar Madura.
Gambar: Kabar Madura

Kabar Madura 30 Agustus 2016



Judul Buku : Hujan

Penulis : Tere Liye

Tahun Terbit : Januari, 2016

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Isbn : 978-602-03-2478-4


Kehilangan adalah bagian dari kehidupan. Semua orang pasti pernah mengalaminya. Entah itu kehilangan benda, uang, atau mungkin juga seseorang yang kita sayang. Begitulah, kehilangan selalu hadir dalam setiap kehidupan manusia.

Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa kehilangan seseorang yang disayang itu terasa menyakitkan. Bahkan sangat menyakitkan. Rasanya, dunia seperti mendadak gelap gulita. Menyemburkan aroma kepedihan.

Begitulah, yang dirasakan anak yang bernama Lail, yang harus kehilangan kedua orang tuanya dalam peristiwa gempa bumi yang sungguh dahsyat, yang menyebabkan lorong kereta bawah tanah luluh lantak. Pada saat itu Lail yang baru berusia tiga belas tahun harus mengalami dan menyaksikan peristiwa yang tak pernah diinginkannya itu.

Lail sudah sejak tadi berusaha tiba di atas sana secepat mungkin. Tinggal setengah meter lagi, dia sudah dekat sekali dengan permukaan. Tapi gerakan tanah runtuh tiba lebih cepat. Anak tangga yang dipegang dan diinjak ibunya luruh, juga yang diinjak kaki Lail. Tubuh Lail menggantung dengan dua tangan berpegangan erat di anak tangga terakhir.

“Ibu!” Lail berteriak, menatap ngeri ke bawah.

“Jangan berhenti, Lail!” ibunya yang telah kehilangan pegangan anak tangga berteriak untuk terakhir kalinya, balas mendongak menatap Lail. Tubuh ibunya telah jatuh bersama guguran tanah, terseret ke dalam lorong kereta yang ambruk empat puluh meter ke bawah sana. Gelap. (hal 28)

Itulah kehidupan, ada yang datang dan pergi. Kita tidak akan pernah tahu kapan itu terjadi. Juga tidak bisa menerka-nerka. Kematian merupakan hal mutlak di dalam kehidupan. Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mengalaminya. Tidak mengenal usia, tua-muda, dewasa atau anak-anak, semua akan mengalaminya.

Begitulah, jika Allah mengambil satu makhluk-Nya di muka bumi, maka Dia juga akan mengirim makhluk lain sebagai penggatinya. Seperti itulah, yang dialami sosok Lail di dalam buku ini, ketika orang tuanya pergi, datanglah seseorang yang menolongnya dan menemani hari-harinya. Selalu ada pelangi setelah hujan turun. Selalu ada kebahagiaan setelah kesedihan yang melanda.

“Ibuuu!” Lail justru melepaskan salah satu tangannya dari anak tangga. Dia kalap hendak meraih ibunya, kehilangan keseimbangan, membuat pegangan satunya ikut terlepas.

Sebelum Lail benar-benar ikut jatuh, satu tangan meraih tas punggungnya dari atas lebih dulu. Anak laki-laki usia lima belas tahun yang tiba duluan berhasil menyambarnya.

“Naik!” anak laki-laki itu berteriak.

“lepaskan aku!” Lail balas berseru.

“Naik! Semua lantai akan jatuh.” Anak laki-laki itu memaksa, menarik paksa tubuh Lail keluar, dan berhasil.

Lail meronta. Dia hendak menolong ibunya. Anak lki-laki itu lebih dulu cekatan menyeret tubuh Lail, menariknya lari melintasi lantai ruangan, menendang pintu. Persis sebelum lantai ruangan itu ikut runtuh. Mereka berhasil menyelamatkan diri. (hal 29)

Meskipun tokoh Lail kehilangan kedua orang tuanya dalam cerita ini, penulis tidak membiarkannya sendirian meratapi kesedihan. Penulis menghadirkan tokoh anak laki-laki berusia lima belas tahun, yang kemudian diketahui bernama Esok. Sejak saat itu, mereka sering bersama. Menghabiskan waktu berdua.

Tanpa sadar, benih-benih cinta mulai tumbuh di hati gadis belia itu. Namun saat itu, gadis itu belum menyadarinya. Hanya merasa nyaman bila berada di dekat pemuda itu.

Gadis berusia dua puluh satu tahun di atas sofa hijau terdiam. Ceritanya terhenti sejenak.

“Anak laki-laki itu, kamu sangat beruntung bertemu dengannya saat gempa bumi terjadi,” Elijah berkata pelan.

Gadis itu mengangguk. Itu benar sekali. Dia sangat beruntung. Esok bukan siapa-siapa, tidak kenal sebelumnya, tapi dia amat peduli padanya. Dalam waktu dua hari, dua kali Esok menyelamatkannya. Pertama saat di tangga darurat, kedua saat hujan asam turun. Tidak terlambat walau sedetik. Esok telah menganggapnya sangat penting, seperti adik sendiri. Gadis di atas sofa hijau menunduk menatap lantai. Ya, benar, mungkin dia hanya dianggap seperti adiknya sendiri.

Esok adalah anak bungsu dari lima bersaudara laki-laki. Bertemu dengan Lail dalam kejadian itu membuatnya seperti memiliki adik perempuan. Esok menemani Lail melewati masa-masa sulit, menghiburnya, memastikan dia makan tepat waktu, mengurus semua keperluannya. Esok juga bicara dengan petugas pengungsian saat kehabisan makanan dan mencarikan selimut yang lebih tebal.

Hari itu perasan tersebut belum tumbuh. Lail masih anak perempuan tiga belas tahun. Bertahun-tahun kemudian dia baru mengerti. Dia tidak ingin dianggap seperti adik. (hal 56)

Itulah kehidupan, ketika sedang merasa kehilangan, Allah menghadirkan seseorang lalu menumbuhkan cinta. Agar manusia tidak larut dalam kesedihan. Kehilangan, seharusnya mengajarkan kita betapa pentingnya orang-orang yang berada dekat dengan kita. Apalagi, masih memiliki hubungan darah.
Toni Al-Munawwar
Toni Al-Munawwar Toni Al-Munawwar adalah seorang blogger dan penulis buku. Ia mulai menekuni dunia menulis dari blog pribadinya. Beberapa tulisannya pernah dimuat media cetak dan elektronik.

Posting Komentar untuk "Kehilangan dan Cinta"